Wulublolong dan Lohayong Damai di Tengah Pusaran Sengketa Tanah Solor - KORAN MARICA DESA KAYANG
Headlines News :

IKLAN

Home » » Wulublolong dan Lohayong Damai di Tengah Pusaran Sengketa Tanah Solor

Wulublolong dan Lohayong Damai di Tengah Pusaran Sengketa Tanah Solor

Written By MARICA DESA KAYANG on Kamis, 14 November 2013 | Kamis, November 14, 2013


Oleh P Fidelis Bolo Wotan, SMM  
Putra Daerah Wulublolong; Pembina Para Frater Montfortan, Tinggal di Ruteng
PADA dasarnya setiap orang menghendaki terciptanya keharmonisan dan kedamaian dalam hidup bersama. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang tidak menghendaki adanya perdamaian dan kerukunan dalam hidup bersama. Negara-negara sekular pun sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Demikian juga dalam suatu agama manapun pada dasarnya menjunjung nilai-nilai keharmonisan dan kesejahteraan. Hanya saja kadang-kadang dalam pemahaman dan praktik keagamaan setiap komunitas, muncul deviasi dan reduksi. Katakanlah semua agama mengajarkan dan menjunjung tinggi nilai perdamaian, tetapi faktanya sudah berapa banyak umat agama di dunia ini yang bisa menciptakan kondisi tersebut.
De facto dalam hidup bermasyarakat di mana-mana masih sering terjadi yang namanya pertikaian, permusuhan yang pada akhirnya membawa malapetaka bagi banyak orang. Di telinga kita mungkin masih terngiang  perihal konflik berdarah di Ambon, Poso, Sambas, dan sebagainya. Semuanya pasti meninggalkan luka dan trauma yang mendalam. Konflik semacam ini sungguh jauh dari harapan manusia, karena semua orang pasti menginginkan damai bukan pertikaian dan peperangan.
Baru-baru ini semua mata tertuju kepada sebuah pulau kecil nan gersang, yakni Solor. Khalayak ramai dikejutkan dengan berita yang tidak sedap didengar, yakni pertikaian antara kedua desa (Wulublolong dan Lohayong) yang berujung dengan pemberangusan, pembakaran ratusan rumah dan pembunuhan nyawa  (4/11/2013). Sesungguhnya ini merupakan sebuah jenis agresi yang tidak pernah akan dipahami dengan baik dan segala jenis kekerasan adalah sungguh nonsense (simply nonsense), sebuah perilaku brutal yang tak pantas dipertontonkan, sebuah tindakan kejahatan yang sangat kejam dan tak berprikemanusiaan. Dan, lagi-lagi konflik ini  berada di pusaran sengketa tanah. Sengketa tanah (tapal batas) ini pernah terjadi pada tahun 2007 (Flores Pos, 7/11/2013). Menurut hemat saya, kasus semacam ini sebetulnya bukan hal yang baru, karena di mana-mana masih seringkali terjadi sengketa tapal batas, misalnya kasus sengketa tanah di Pulau Adonara beberapa waktu yang lalu dan beberapa kasus serupa terjadi di bumi NTT.
Setiap konflik yang menelan korban nyawa dan mengorbankan harta sebetulnya tak pernah dibayangkan dan diharapkan oleh semua orang. Dalam realita sehari-hari, manusia terus-menerus berjuang dan berusaha sebaik mungkin agar suasana hidup yang harmonis, damai, adil dan sejahtera di antara satu sama lain dapat terwujud. Namun dalam kelemahan dan keterbatasannya, kadangkala harus diakui bahwa manusia tidak cukup sanggup menciptakan dan memelihara iklim kehidupan tersebut. Dari sebab itu, dalam segala keterbatasan dan kelemahan dirinya, manusia diajak tak henti-hentinya untuk selalu mawas diri dalam membangun relasi kehidupan yang baik dan harmonis. Dalam disposisi ini, ia diajak untuk menjadi instrumen pencipta kultur kehidupan yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan akan martabat manusia. Dimensi seperti ini justru dalam praktiknya seringkali kehilangan nilainya.
Apa yang telah terjadi di antara kedua desa itu (serta melibatkan beberapa komunitas dari luarnya) sesungguhnya merupakan sebuah kejahatan atau oleh St. Agustinus disebut sebagai kekurangan kebaikan (privatio boni). Konflik tersebut sebetulnya sedang memerlihatkan adanya kehilangan pegangan dalam membangun sebuah model hidup, relasi yang harmonis. Dalam situasi seperti ini, ketika penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia kurang dipromosikan, maka hal itu justru menjadi bahaya laten dan lahan subur terjadinya `perang hati', `perang mulut', `pertikaian', dan bahkan peperangan yang menelan harta dan nyawa. Siapa yang benar, siapa yang salah dalam konflik semacam ini seringkali menjadi kabur, karena masing-masing pihak telah menjustifikasi kebenarannya sendiri, `kami' yang benar dan `kamu' yang salah, kami yang bermartabat dan kamu tidak bermartabat, dst.
Kita hidup di era modern, zaman globalisasi, sebuah era yang tidak lagi dibilang kuno, tetapi zaman yang serba modern. Zaman yang demikian dalam banyak hal sebetulnya meminta manusia untuk terus-menerus berpacu dan menyesuaikan diri dengannya. Dan penyesuaian diri terhadap kemajuannya pun dalam arti tertentu meminta kepandaian dan keterampilan (skills) manusia di dalam membangun kehidupannya. Salah satunya ialah terampil dalam menciptakan "budaya damai", "budaya sopan-santun", "budaya saling menghargai dan menghormati satu sama lain".
Perubahan zaman yang demikian pesat saat ini seringkali justru mengikis dan mengendorkan dan bahkan menghilangkan nilai-nilai hidup tersebut. Dari sebab itu, jikalau manusia tidak terampil menyikapinya dan menghidupinya, maka akan terjadi apa yang disebut dengan ketimpangan dalam membangun kehidupan yang selaras-serasi di antara satu sama lain. Andaikata setiap orang mampu mengaproriasi nilai-nilai hidup tersebut, niscaya tidak akan ada konflik, pertikaian dan peperangan di antara sesama manusia. Bagaimanpun juga kita semua adalah orang yang beriman yang tahu bagaimana harus menghidupi iman itu dengan baik di hadapan Sang Pencipta. Iman yang hidup kepada-NYA meminta seni berperilaku secara etis dan elegan dalam menganyam relasi interpersonal dengan sesama manusia. Relasi yang dibangun kiranya didasarkan pada "passion to honor the other", antusiasme untuk saling menghargai dan menghormati tanpa memandang status, agama, suku dan budaya.
Prahara yang tengah menimpa kedua desa bertetangga ini sebetulnya menurut hemat saya tidak perlu terjadi. Sebagai putra Solor (Wulublolong), saya menyesal mengapa konflik itu harus terjadi dan berujung dengan sikap saling membakar rumah dan memakan korban. Saya tahu bahwa selama puluhan bahkan ratusan tahun kedua desa bertetangga ini hidup dalam lingkaran persaudaraan bahkan boleh dikatakan di antara keduanya ada ikatan darah atau kekerabatan sekalipun berbeda iman dan keyakinan. Dan konflik berdarah seperti ini baru terjadi kali ini. Malapetaka ini mulai menyiratkan bahwa sesungguhnya ada sebuah ketimpangan dalam menerapkan pola kehidupan yang baik. Ada semacam kekurangan dalam memromosikan model hidup yang aman, damai dan tenteram.
Dari sebab itu, pertikaian di atas sebetulnya telah mencoreng, menodai relasi kekerabatan yang sudah dibangun sedari dulu kala. Lalu apa yang harus dibangun dan dikerjakan sekarang? Hal yang kiranya baik dikerjakan sekarang ialah masing-masing komponen dalam tubuh pemerintahan setempat, bersama tua-tua adat, dan para pemuka agama serta para tokoh masyarakat perlu duduk bersama, berdialog bersama mencari dan menemukan akar persoalan yang terdalam di balik sengketa tanah yang kemudian memicu terjadi aksi serang-menyerang di antara kedua kelompok masyarakat ini. Semua orang sepakat untuk mengatakan bahwa pertikaian, kekerasan (violence) apapun bentuknya adalah simply nonsense dan bukan merupakan jalan keluar untuk memertahankan eksistensi diri apalagi mau memromosikan kebenarannya masing-masing. Sudah saatnya setiap orang dari segala lapisan masyarakat terus-menerus menjadi instrument pencipta kerukunan dan kedamaian di antara satu sama lain.
Dari sebab itu, pepatah klasik tentang `mata ganti mata, gigi ganti gigi' (aksi balas dendam) kiranya dijauhkan dari hati dan pikiran setiap insan. Mengapa harus dihindari, karena ketika itu terjadi, maka akan memicu terjadinya konflik selanjutnya yang meluas ke berbagai ranah kehidupan manusia. Hal ini samasekali tidak diinginkan oleh semua pihak. Kita semua bersaudara bukan karena kita sebudaya, sesuku, seagama melainkan karena kita adalah sesama manusia yang berasal dari satu ciptaan yang sama. Dia yang tidak kelihatan tidak pernah tidur untuk membantu semua orang menjalani hidup bermasyarakat secara harmonis dan damai, karena  Dialah Allah yang Mahakasih dan Pencinta damai dan Dialah Allah rekonsiliasi bukan Allah pemusnah. *
Editor: agustinus_sape
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

KORAN MARICA

Blogroll

 
Support : Creating Website | Marica Desa Kayang | Marica Bisa
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. KORAN MARICA DESA KAYANG - All Rights Reserved
Template Design by Marica Desa Kayang Published by KORAN MARICA