Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts ~ Winston Churchill
TENTANG sang juara. Tentang kesuksesan yang tertunda.
Suatu senja di kampus. Aku baru saja selesai kuliah dan tanpa tergesa berjalan perlahan menelusuri koridor di depan ruangan kuliah ketika dari arah berlawanan tampak seseorang berjalan ke arahku.
Aku tercengang.
Kukenal dia. Itu sahabatku. Kawan baik sejak SMA dulu.
Dia tidak kuliah di universitas yang sama denganku. Karena itulah kehadirannya di kampusku agak mengherankan.
Saat kami sudah berdekatan, kusapa dia, ” Hai. Koq ada di sini, cari siapa? “
Senyumnya melebar. ” Cari kamu “, jawabnya.
Kami tingkat tiga saat itu. Dan walau senang bertemu dengannya, tapi bahwa dia sengaja mencariku ke kampus membuatku heran. Kami memang masih berkawan sejak lulus SMA itu. Jadi, kadang- kadang kami bertemu. Adakalanya dia mampir ke rumahku. Di saat lain kami berjumpa saat ada suatu acara. Tapi tak pernah sekalipun dia datang menemuiku di kampus.
” Tahu darimana aku lagi di sini? ” tanyaku lagi padanya.
” Dikasih tau Ibu. Aku telepon ke rumah tadi, ” jawabnya.
Hmmm. Jadi, dia memang sengaja menemuiku, rupanya. Dia meneleponku ke rumah dan ibuku mengatakan bahwa aku sedang kuliah lalu dia datang ke kampus mencariku. Entah untuk apa.
Dia mengajakku duduk di tepi koridor di deretan depan ruang kelas. Lalu mengobrol ini dan itu. Obrolan biasa, hal- hal umum yang biasa kami percakapkan saat berjumpa.
Aku masih tak mengerti mengapa dia sampai perlu menemuiku secara khusus sore itu. Sampai setelah sekian lama ngobrol ngalor ngidul, barulah kemudian kuketahui alasan yang sebenarnya kenapa dia menemuiku.
Dia hendak berpamitan.
” Aku dapat beasiswa, D, ” katanya.
” Beasiswa apa? ” tanyaku.
Dia memberitahukan padaku, dia menerima beasiswa untuk melanjutkan sisa masa kuliahnya dari tingkat 3 itu sampai lulus ke sebuah universitas di Amerika.
” Waktunya mendesak, ” katanya lagi, ” Aku harus segera berangkat.”
Kutatap matanya, ” Kapan? ” tanyaku.
” Besok aku berangkat, ” jawabnya.
Jadi itu sebabnya dia sampai sengaja menemuiku di kampus. Sebab besok dia sudah akan pergi
Kuucapkan selamat padanya. Aku berkata bahwa aku sungguh gembira mendengar berita itu. Walau di satu sisi aku agak sedih sebab kawan baikku akan pergi jauh untuk waktu lama dengan pemberitahuan yang begitu mendadak, tapi aku memang benar- benar senang mendengar berita itu.
Kukatakan padanya, ” Jadi apa yang sudah dijalani selama ini benar ya? Jadi akhirnya kamu akan bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari apa yang dulu diinginkan? “
Dia tertawa menatapku dan berkata, ” Iya. Untung kamu dulu memaksa aku. “
Ah. Aku tertawa bersamanya. Mengingat kejadian tiga tahun sebelumnya, saat aku berdebat panjang lebar dengan kawanku ini.
***
Kami baru lulus SMA saat itu.
Kawanku baikku ini pandai ( dan ganteng, ha ha ha ), dia bintang kelas dan juga bintang lapangan. Dia atlit yang baik di beberapa cabang olah raga.
Dan suatu hari setelah kami lulus SMA aku berdebat dengannya.
” Tapi D, ” katanya, ” Kamu kan tau dari dulu, bahwa yang kuinginkan hanya satu itu saja. “
Oh tentu saja, tentu saja aku tahu. Bukan hanya sekali kawanku ini mengatakan padaku bahwa selulus SMA nanti, dia hanya akan mendaftarkan diri ke suatu jurusan teknik tertentu di sebuah perguruan tinggi negeri yang konon adalah perguruan tinggi terbaik di negeri ini.
Aku tak pernah meragukan kemampuannya. Tidak. Dia jelas memiliki kepandaian yang cukup untuk lulus testing.
Tapi entah kenapa, ketika itu sebuah pikiran mengelebat di kepalaku. Bagaimana jika entah karena sebab apa, dia tidak diterima di perguruan tinggi negeri tersebut?
Itulah yang kusampaikan padanya. Kukatakan bahwa aku percaya dia bisa diterima di jurusan yang dicita- citakan olehnya, di perguruan tinggi yang diimpikannya itu, tapi, bagaimana jika sebaliknya yang terjadi? Jika dia tak diterima dan dia tidak punya cadangan sama sekali?
Aku tahu, percuma membujuknya untuk menaruh jurusan lain sebagai cadangan di pilihan kedua. Jauh- jauh hari dia sudah mengatakan bahwa yang dia inginkan hanya masuk jurusan itu saja. Jadi, yang kuusulkan padanya adalah untuk juga mendaftarkan diri ke sebuah universitas swasta favorit di kota kami yang memiliki jurusan yang sama dengan yang dia inginkan itu.
Kawanku ini tak setuju. Dengan keras kepala dia menggelengkan kepalanya.
Kubujuk dia, kukatakan tak ada ruginya mendaftar dan testing. Kalau diterima dua- duanya, dia tinggal memilih salah satu. Sebaliknya, hal itu akan sangat berguna jika dia ternyata tak diterima di perguruan tinggi negeri yang dia tuju.
Kawanku tak berubah pendirian. Dia tetap menolak.
Tapi akupun tak kalah gigih, ha ha ha.
Saat hari pertama pendaftaran dibuka, kuhubungi kawanku ini, mengatakan bahwa aku akan mendaftarkan diri di universitas swasta itu dan bertanya apakah dia juga akan melakukan hal yang sama.
Dijawabnya, tidak.
Hari kedua, kutanyakan lagi apakah dia akan mendaftarkan diri hari itu?
Jawabnya masih tidak.
Hari ketiga, sami mawon. Sama, dia tetap bersikeras mengatakan tidak.
Begitu terus sampai beberapa hari berlalu. Menjelang pendaftaran ditutup, kuajak lagi kawanku ini untuk mendaftar sambil mengatakan aku bersedia menemaninya pergi ke sana.
Tak juga dia tergugah.
Sampai akhirnya kukatakan padanya karena dia tak juga pergi mendaftarkan diri, besok aku akan ke universitas swasta itu dan membelikan formulir untuknya. Tapi dia harus berjanji untuk mengisi dan mendaftarkan diri.
Dia menyerah.
Melihat aku begitu ngeyel sampai hendak membelikannya formulir seperti itu, akhirnya dia berkata, ” Nggak usah D, nggak usah dibeliin. Aku besok kesana daftar deh. “
” Janji? ” kataku.
” Ya, janji, ” jawabnya.
Dia memenuhi janjinya. Keesokan harinya dia memang mendaftarkan diri ke universitas swasta tersebut, dan pada semua orang yang bertanya kenapa akhirnya at the last minute dia mendaftarkan diri, dia selalu mengatakan bahwa itu dilakukannya semata karena aku memaksanya melakukan hal tersebut.
Ha ha ha.
Urusan ‘pemaksaan’ itulah yang disebut- sebut olehnya saat dia akhirnya memperoleh beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya di Amerika.
Untung, katanya, dulu itu aku memaksanya, sebab… apa yang tak diharapkan itu memang terjadi: dia tidak diterima di perguruan tinggi negeri, dan akhirnya kuliah di perguruan tinggi swasta kemana aku ‘memaksa’-nya untuk mendaftarkan diri…
p.s.
bagian dua ada di:
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !