KORAN MARICA:--Keterikatan masyarakat Baranusa terhadap otoritas adat, sudah berlaku berabad-abad lamanya. Ini terlihat dari relasi dan struktur sosial yang teridentifikasi oleh empat (4) Kabilah besar yang ada di sana.
Empat Kabilah besar tersebut adalah : Kabilah Uma Kakang, Sandiata, Haliweka danWutung Wala. Keempat Kabilah besar ini, dalam taksonomi budaya Baranusa, terbagai lagi menjadi beberapa anak suku yang terkelompok berdasarkan asal-usul dan pengakuan adat.
Keempat Kabila ini secara historis memiliki peran dan tugas masing-masing. a). Uma Kakang. Secara bahasa, Uma Kakang artinya Rumah Kakak atau Rumah Tertua, dalam adat masyarakat Baranusa kabilah ini dipercayai sebagai raja, atau pemimpin. b). Kabilah Sandiata. Secara kebahasaan sandiata berarti senjata, atau suku yang berperan sebagai ujung tombak keamanan di Baranusa. Suku ini mendapat posisi adat sebagai kabilah prajurit, Ksatria.
Mereka merupakan angkatan prajurit yang berada pada barisan terdepan bila terjadi gangguan keamanan terhadap lewo tana (kampung halaman).
c). Kabila Wutungwala. Dalam pengelompokan adat di Baranusa, mereka bertugas sebagai kelompok aparatur pemerintahan, atau yang bertugas menjalankan rodah pemerintahan adat di Baranusa. kabilah d). Kabila Haliweka. Adalah kabilah yang di dalamnya tergabung suku-suku pendatang dari berbagai daratan NTT, terutama Alor, Flores dan Lembata.
Dalam hubungan sosial kemasyarakatan, empat kabilah besar ini menjadi pilar sosial dalam segala sisi kehidupan. Mulai dari kegiatan sosial keagamaan hingga kawin-mawin. Masyarakat Baranusa dengan jumlah penduduk ± 5000 penduduk ini, terbagi dalam peran-peran sosial keagamaan berdasarkan Kabilah dan Suku.
Sebagai sebuah pulau dengan penduduk yang 100% beragam Islam, masyarakat Baranusa sangat khas dalam tradisi dan pola keberagamaan.
Dalam kegiatan keagaamaan seperti pembangunan masjid misalnya, untuk menyelesaikan pembangunan masjid tersebut, masyarakat dibagai dalam empat kelompok kerja berdasarkan kelompok kabilah yang ada. Masing-masing kelompok kerja tersebut bertanggungjawab terhadap pendanaan, pengumpulan bahan material bangunan dan sewa tukang.
Semua jenis kerja ini dibebankan kepada kelompok kabilah dan dikoordinir oleh masing-masing kepala suku atau disebut dengan istilah Gambeing Lallang, secara semantik diartikan orang tua adat.
Dalam kerja-kerja keagamaan seperti ini, peran kepala kabilah sangat menentukan. Masyarakat biasanya lebih patuh kepada setiap policy yang dititahkan dari rumah adat. Otoritas Suara Uma Adat memegang peran strategis dalam setiap urusan masyarakat Baranusa berdasarkan pengelompokan kabilah tadi. Baik secara teknis kebudayaan maupun segala perilaku dan norma tidak tertulis lainnya.
Demikianpun dalam manajemen pengelolaan masjid, penugasan mulai dari Imam, Khatib, Bilal dan Marbot dibagi berdasarkan empat (4) kelompok kabilah. Keempat kabilah tersebut mengutus orang-orang terbaiknya untuk menduduki posisi Imam, Khatib, Bilal dan Marbot.
Dalam hal pergantian petugas masjid, biasanya Ketuas Yayasan tidak memiliki peran signifikan. Karena setiap pergantian petugas Masjid yang disebabkan oleh faktor usia dan ketidakaktifan, lazimnya dikembalikan ke pemangku adat dari Kabilah masing-masing, untuk menggantikan petugas masjid yang baru.
Realitas seperti ini sangat namapak, khususnya di bulan Ramadhan. Penugasan imam, bilal, penceramah dan marbot dipergilir. Misalnya pada saat sholat malam dibulan ramdhan, jika sholat Isanya diimami oleh kabilah Uma Kakang, maka sholat tarwih dan Witir diganti dengan kabilah Sandiata, Haliweka dan Wutung Wala. Penggiliran seperti ini berlaku juga untuk Khatib atau penceramah, Bilall dan Marbot.
Tata kelola masyarakat seperti ini, menelorkan suatu mekanisme demokrasi yang sangat otentik. Sebab, keselarasan, ketaatasasan, kesalingpatuhan antar masyarakat dalam setiap urusan, terdorong oleh produksi nilai-nilai alamiah yang sudah berlaku selama berabad-abad.
Dalam hal pluralitaspun demikian, masyarakat Baranusa memiliki suatu pola realasi sosial yang sangat unik. Terutama hubungan masyarakat yang ada di pesisir dan yang berada di pedelaman. Dalam kebiasaannya, orang Baranusa menyebutkan dirinya sebagai watang ire dan yang bertempat tinggal di pedalaman dengan sebuatn Dullyatau orang yang turun dari gunung.
Dalam peta sosial, penduduk yang berada di pedalaman (Dully) dan pesisir (Watang Ire), menganut agama yang berbeda. Yang berada di pedalaman 100% penduduk beragama Kristen Protestan. Dan yang berada di kawasan pesisir 100% penduduk beragama Islam.
Namun, dalam relasi sosial antara orang pedalaman dan pesisir, masih memiliki keterikatan budaya dan hibungan geneologi. Bahkan model khas relasi sosial seperti ini, mampu menembus wilayah teologi agama, sekaligus mengatur tata pergaulan antara orang pesisir dan orang pedalaman yang terkenal dengan istilah Lutta. Lutta sendiri merupakan sebuah istilah yang bermakna sahabat atas relasi tertentu dalam bertani dan hubungan kekeluargaan atau hubungan darah.
Dalam bingkai persaudaraan demikianlah, Baranusa selama ini mampu menciptakan suatu sintesa kehidupan yang terhimpun dari keragaman nilai dan budaya.
sumber : http://sosbud.kompasiana.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !