Budaya Lokal NTT Alami Kekerasan Berlapis - KORAN MARICA DESA KAYANG
Headlines News :

IKLAN

Home » » Budaya Lokal NTT Alami Kekerasan Berlapis

Budaya Lokal NTT Alami Kekerasan Berlapis

Written By MARICA DESA KAYANG on Minggu, 04 Agustus 2013 | Minggu, Agustus 04, 2013



 
KORAN MARICA KUPANG -- Gereja-gereja tidak mengintimidasi budaya-budaya lokal yang ada melainkan negera sendiri. Dan budaya yang ada selalu mengalami kekerasan berlapis.
Hal ini disampaikan  Pdt. Dr. Mery Kolimon pada acara bedah Buku Serpihan Budaya NTT (Kumpuluan Ficer di Harian Kompas) karya Wartawan Kompas, Frans Sarong yang berlangsung di Hotel T- More, Jalan Piet A Tallo, Kupang, Sabtu (3/8/2013).

Turut hadir pada kesempatan itu, Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya, Pelaksana Pemred Harian Pos Kupang, Beny Dasman,Kadis PU Andre Koreh, Kadis Kebudayaan dan Pariwisata, Abraham Klakik, Kepala UPT Museum, Leo Nahak, Kepala UPT Taman Budaya, Yohana Lingu Lango serta para undangan lainnya.

Selain Mery tampil lima pembedah lainnya, yakni  Rm. Valens Boy, Pr,  Kepala Balai Besar Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) NTT, Ir. Wiratno, M.Sc, Kepala UPT Museum Daerah NTT, Drs. Leo Nahak, M.A, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya NTB dan NTT, Drs. Made Purna dan pembedah terakhir dari sisi politik oleh Ir. Anton Dony.

Mery yang juga theolog dan dosen pada Universitas Kristen Artha Wacana Kupang ini membedah dari sisi gereja. Topik yang  dipilih yakni menenun identitas (gereja dan budaya di NTT menuju relasi dialogis mutualis). Saat itu, Mery pun menyanggah soal tulisan dalam Buku Serpihan Budaya NTT yang mengatakan gereja terlibat dalam kekerasan terhadap budaya.
"Jika pada tahun 1970-an, gereja diintimidasi oleh sekolah, guru. Bahkan ada pohon besar atau batu yang ada di kampung- kampung ditebang, padahal pohon atau batu itu sebagai tempat ritual budaya masyarakat. Semua ditebang atau dimusnahkan dalam nama Yesus. Saya sebagai thelog menerima tantangan ini," kata Mery.

Dijelaskan, gereja sendiri tidak terlibat atau tidak buat kekerasan terhadap budaya, namun budaya-budaya mengalami kekerasan berlapis.
Dia mencontohkan, kekerasan berlapis itu seperti tahun 1965 budaya dihancurkan oleh negara dan salah satunya di Boti (temuan Jaringan Perempuan Indonesia Timur dalam memori- memori terlarang) Bahkan ada berbagai simbol budaya di Timor seperti Hau tola, ume le'u sempat dihancurkan oleh negera.
"Beberapa kesimpulan yang bisa diangkat adalah  gereja perlu mengaku dosa karena kekerasan terhadap budaya.Menemukan injil karya allah (karya kebaikan )di dalam budaya kita, bahkan kadang kita sangat curigai atau  sensitif terhadap ritual-ritual," ujanya.*
Penulis: oby_lewanmeru
Editor: alfred_dama
Sumber: Pos Kupang
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

KORAN MARICA

Blogroll

 
Support : Creating Website | Marica Desa Kayang | Marica Bisa
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. KORAN MARICA DESA KAYANG - All Rights Reserved
Template Design by Marica Desa Kayang Published by KORAN MARICA