Rembulan Kembar Nan Indah Di Pulau Alor Tercinta - KORAN MARICA DESA KAYANG
Headlines News :

IKLAN

Home » » Rembulan Kembar Nan Indah Di Pulau Alor Tercinta

Rembulan Kembar Nan Indah Di Pulau Alor Tercinta

Written By MARICA DESA KAYANG on Minggu, 31 Maret 2013 | Minggu, Maret 31, 2013


Koran Marica :- S59046_437683479626964_332989683_nENJA mulai temaram, burung-burung walet terbang riang ke peraduannya di selah-selah bebatuan tinggi di Pulau Pura. Laut di Pantai Makasar Desa Alor Kecil, Kabupaten Alor sesekali bergelombang karena digilas perahu-perahu nelayan yang pergi memancing ikan.
Telah dua jam Bean duduk di atas dermaga kecil di samping Restoran Pesisir untuk menikmati eloknya panorama alam.
“Hmmmm,” desah Bean. “Mengapa kemolekan tiada terbilang ini diperawankan?” keluhnya membatin. “Mesti dijamah manusia berduit. Menjadi sumber berkat bagi Alor yang cukup tertinggal dari daerah lainnya.”
Betapa itu tak mungkin?—sebab—di depan biji matanya, ada pulau Nuha Kepa. Di belakang pulau Nuha Kepa ada Pulau Pura; menjulang tinggi nyaris mencumbui langit yang dikosmetika awan-awan putih menggumpal. Di belakang Pulau Kepa dan di samping Pulau Pura, ada Pulau Pantar yang memanjang jauh. Di samping Pulau Nuha dan di antara laut biru, ada Pulau Ternate. Di samping Pulau Pantar, ada Pulau Buaya (tak ada buaya; berbentuk bak buaya). Di arah timur jauh dipandang mata, ada Pulau Treweng. Dan di samping kiri dipisahkan laut, ada Pulau Alor; letaknya di kecamatan Alor Barat Daya.
“Pak… maaf mengganggu,” sapa seorang gadis hitam manis.
Bean terjaga dari khayalnya, memandang gadis itu lekat-lekat. Sedangkan gadis itu tak mau ambil peduli.
“Apakah Anda tak berhasrat  untuk mencoba gurihnya ikan baronang atau kerapu bakar yang masih segar-segar. Pak?” kejar gadis itu.
Bean terjaga, berusaha menyambut senyum gadis itu di bibir ujarnya. “Ahhhh,” desah Bean,  “hentikan menyapaku Pak. Usiaku tak terpaut jauh denganmu. Panggil aku Bean,” ujar Bean lalu bangkit berdiri, kemudian  menyodorkan tangan.
Tersipu-sipu malu gadis itu menyodorkan tangannya sedangkan matanya dibuang jauh-jauh dari pandangan Bean. “Wi…Widya,” gumamnya terbata.
“Sebuah nama yang indah—sama indahnya dengan pantai—indahnya laut, dan pulau-pulau Alor,” ujar Bean.
Widya tersipu-sipu malu, jemarinya  memerbaiki rambut hitam lebat yang dipangkas berponi, sedetik kemudian kembali berujar:

“Kalau Bang ingin mencicipinya, silahkan mampir ke Restoran Pesisir.”
Bean belum menemukan alasan untuk  menerima atau menolak tawaran Widya. Dalam kecanggungan karena sesekali menangkap liarnya tatapan Bean, Widya pamit, ingin melaut ke Pulau Kepa.
Bean hanya melongo-longo, kata-kata terlontar begitu cepat, secepat gerakan tubuh Widya yang meliuk-liuk ke arah sampan. Dan, tak seberapa lama, ayunan tangan Widya bergerak bak alunan lagu Ja’i untuk membedah laut. Belum dua puluh menit, dia telah mendaratkan sampan di bibir pantai pasir putih, lalu melangkah ke sebuah homestay.
Waktu bergulir dengan cepatnya kala mata Bean menangkap jam tangannya telah menunjukkan hampir sejam, tapi Widya belum juga keluar dari homestay itu. Tiba-tiba perut Bean terasa diiris-iris. Lapar mengeruak, tak kuasa dibendung. Kala dia berniat membalikkan tubuh ke Restoran Pesisir, seorang gadis hitam manis bak pinang dibelah dua dengan Widya menyapanya lembut-lembut:
“Pak, ikan baronang bakarnya telah disiapkan. Silahkan mencicipinya.”
“Iya, Widya,” ujar Bean dengan sebegitu yakinnya.
Gadis itu terkekeh.
“Ada yang salah denganku?” Bean menggugat caranya gadis itu merespons.
Gadis itu tambah terkekeh, seolah-olah ingin memancarkan kilauan gigi putihnya yang berbaris apik, dan kedua lesung pipinya.
Bean tambah heran.
“Pak…Pak,” gumam gadis itu.  “Pak lebih aneh dari sejuta wisatawan yang pernah datang ke sini,” ujarnya. “Begini saja,” dia melanjutkan, “aku perlu jujur agar Pak tak tampak lebih aneh lagi. Aku bernama Widy, saudara kembarnya Widya yang tadi menawarkan jasa restoran kami. Kami bak pinang dibelah dua. Tapi, kalau dicermati lebih saksama, perbedaannya hanya pada lesung pipi. Aku berlesung pipi dua, sedangkan Widya berlesung pipi tunggal di pipi kanannya.”
Oh my God !” Bean berseloroh lalu memukul jidatnya. “Ta…pi,” dia melanjutkan, “darimana Widy tahu Widya menawarkanku ikan baronang bakar?”
“Kini zaman edan. Berkomunikasi tak harus face to face. Ada HP, ada Internet yang bisa digunakan untuk mengirimkan Email, adan Facebook. Dunia bak tak ada batasnya lagi; batas administrasi belaka.”
***
Keesokan petang, sekitar jam empat, Bean kembali ke serambi depan Restoran Pesisir sembari menjinjing laptop Nec Versa E3100 Centrino. Seorang perempuan berusia setengah baya menghampirinya dan menawari kopi Manggarai. Dia setuju, lalu menanyai soal Widya dan Widy. Jawaban yang diperoleh memurungkannya. Widya pergi menyusuli Widy ke Pulau Alila untuk memandu sepuluh orang wisatawan dari Amerika Serikat diving. Padahal, dia ingin memeroleh sejumlah informasi untuk menyelesaikan cerpennya.
Manakala perempuan itu bernajak, Bean melanjutkan cerpennya:
“Alor tak saja dijuluki kota kenari, tetapi kota pariwisata. Sayangnya, sentuhan terhadap sektor ini masih jauh dari kelayakannya. Alor kelak bisa jadi sorganya pariwisata dunia, bila semua orang Alor terpanggil untuk menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan dan andalan pembangunan. Karena, ada delapan taman laut di sana: taman laut Selat Pantar, Alor Kecil, Pura, Ternate, Ampera, Alila, Wolwal, dan Mali. Potensi lainnya: di Selat Pantar terdapat 26 titik diving berkelas dunia yang memiliki luas 19.684 ha dengan alam bawah lautnya yang masih perawan. Terumbu karang pun, dan jenis ikan cantik: barakuda, grip, mola-mola, tuna gigi anjing dan sebagainya hidup di sana. Keunggulan lainnya: selain memiliki tiga palung besar yang di dalamnya hidup ribuan ikan, juga arusnya selalu berganti-ganti arah. Bermain dengan arus memberikan keasikan sehingga bisa bertahan berjam-jam lamanya. Tinggal memilih: diving dengan cara snorkeling (menggunakan kacamata atau masker, alat sirkulasi udara/snorkel, dan kaki katak/fin), dengan cara free diving (mirip snorkeling tapidilakukan di dalam air dengan cara menahan nafas), dan scuba diving (penyelaman di dalam air dengan menggunakan tabung pernafasan)”.
Good evening,” kata Widya dan Widy bak paduan suara.
Bean terkejut, menghentikan laju cerpennya.
Oh, my God,” Bean mendesah dalam keterkesimaannya. “Ternyata aku tak dikibuli. Kalian benar-benar bak pinang di belah dua! Tapi aku dapat memastikan siapa Widya dan siapa Widy.”
“Katakanlah kepastianmu itu supaya kami tak mengira kau adalah seorang pria yang berciri sok tahu!” tantang Widya.
Merasa ditantang Bean langsung berujar: “Widya berlesung pipi satu, Widy berlesung pipi dua!”
“Ha…ha…ha…!” mereka terkekeh.
Bean terkejut, wajahnya nyaris bak udang tersiram air panas.
“Ja…di, jadi…aku berciri sok tahu?” ujar Bean sembari memerhatikan Widya dan Widy dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.
Up to you, ‘deh!” ujar Widya. “Tapi yang pasti,” lanjutnya, “kemarin kami telah berbohong! Yang berlesung pipi satu itu Widy, sedangkan yang berlesung pipi dua itu aku: Widya!”
Perempuan berusia setengah baya kembali menghampiri Widya dan Widy, tangannya memegang dua gelas juice mangga kelapa. Tanpa berbasa-basi Widya dan Widy meminumnya hingga ludes.
“Lezat?” Bean penasaran.
“Bang belum perfect di Alor kalau belum menyantap kenari, jagung titi dan minum juicemangga kelapa,” terang Widya promotif.
“Apalagi Bang sedang menulis. Dijamin alurnya mengalir nature!” sambung Widy.
“Ha…ha…ha…!” Bean terkekeh. Dia mulai bisa bangkit dari raut wajah kekonyolannya. “Kalian benar-benar guide professional. Tapi aku sedang menulis cerpen, bukan artikel.”
Tanpa permisi Widya membaca alinea terakhir yang baru saja ditulis Bean, semenit kemudian berseloroh tanpa tedeng aling-aling.
“Katanya Cerpenis, tapi alur ceritranya artikelis banget!”
Bean tercengang, lalu membaca ulang.
“Mungkin kurang konsentrasi saja!” penggal Widy untuk melerai kisruh pendapat dengan Widya.
“Kalau boleh saran,” Widya mendesah, “idealnya: Alor, sebuah pulau yang kaya akan obyek dan daya tarik wisata berskala internasional. Sayang teramat sayang, masih tetap perawan karena sex apeale-nya dibungkus enggannya orang Alor untuk menjual kepada khalayak dunia. Padahal di dalam laut dangkal ada terumbu karang sexi nan warna-warni. Ikan-ikan grip, mola-mola, barakuda, tuna gigi anjing berenang-renang genit menyambut wisatawan untukdiving dalam arus yang bergerak-gerak dan berganti-ganti arah.”
“Aha…, that’s verry good idea,” desah Bean. “Rupa-rupanya Widya pun cerpenis. Malah lebih berkelas dariku,” jujur Bean.
Widya tersipu-sipu malu.
“Anda berlebihan sekali!” desah Widya. “Aku bisa tersanjung-sanjung dibuatmu,” lanjutnya sedetik kemudian. “Namun, kalau boleh jujur, aku membenci cerpenis, apalagi novelis. Bagiku, mereka adalah manusia-manusia pengkhayal bukan pemimpi. Mereka hidup di awan-awan sedangkan kami hidup di bumi nyata,” jelasnya. “Makanya ku tinggalkan dunia itu, memilih menjadi pramuwisata di kampungku. Ini sebuah kehidupan nyata—aku punya banyak waktu  mempromosikan obyek dan daya tarik wisata, melayani sejuta wisatawan yang dengan manisnya merogoh ribuan dollar dari kantongnya.”
“Ah, kamu terlalu paranoit,” gugat Bean. “Memang ada beberapa penulis seperti itu. Tapi kebanyakan hidupnya bersahaja. Yang mereka kejar adalah kepuasan batin karena pesan-pesan dalam tulisannya bisa sampai ke pembaca,” lanjutnya. “Soal pro dan contra menjadi hak setiap pribadi. Sebab setiap penulis tak ditalentakan memuaskan semua orang yang multy latar belakang. Contohnya aku…”
“Ha…ha…ha…! Bang kayak si Basofi, mantan Gubernur Jawa Timur, yang mendendangkan lagu: Tidak semua laki-laki bersalah padamu,” penggal Widy.
***
Mentari telah masuk ke kolong peraduannya. Lamat-lamat bulan purnama bangkit dari arah Pulau Alor. Widya dan Widy tak bisa berlama-lama. Mereka harus mendayung perahu ke Pulau Nuha Kepa. Bean tak bisa menghalau. Semenit kemudian, dalam kesendiriannya, dia mengakhiri cerpennya:
“Di Alor, aku bak di surga. Bukan saja kukencani obyek dan daya tarik wisata unik, tapi dua rembulan kembar yang telah mencuri cinta dan kasihku akan Alor manise, yang tak layak lagi dijuluki kota kenari. Tepatnya kota kenari, pariwisata dan seni budaya.”
***
Setahun kemudian, Bean kembali menapaki kakinya diAlor. Di tempat pernah berkencan dengan Widya dan Widy, dia duduk membandingkan masa lalu dengan keadaannya kini. Tidak ada yang berubah, terkecuali rembulan kembar itu tak tampak batang hidungnya lagi. Ada kesal di hati…diantara tumbuhnya benih-benih cinta kepada Widya dan Widy. Tapi setelah kesadaran datang menyentaknya bahwa tak mungkin sekaligus mencintai kedua rembulan kembar itu, perlahan-lahan dia mengayuhkan langkah ke hotel, mengambil ransel, lalu mengayuhkan langkah ke pelabuhan laut.
Malam tadi, tiga tahun kemudian, di depan Restoran Pesisir, Bean berhasil bertemu Widya dan Widy. Di bawah sinar terang rembulan, mereka bertiga saling bertatapan, sedangkan hati masing-masing tak bisa ditipu. Ada cinta yang mengkristal. Tapi, bagaimana mungkin seorang pria dibolehkan hidup dalam cinta bersama dua rembulan kembar?
Hingga kapankah mereka sanggup mendustai perasaannya?—hingga maut datang menjumput salah satunya?—hingga sedetik kemudian datang kemahaberanian cinta?—atau  apalah takdir yang melompat keluar dari langit-langit cinta….
Oleh: Vincentcius Jeskial Boekan
Catatan: Cerpen ini pernah dimuat di Pos Kupang pada tahun 2005

Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

KORAN MARICA

Blogroll

 
Support : Creating Website | Marica Desa Kayang | Marica Bisa
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. KORAN MARICA DESA KAYANG - All Rights Reserved
Template Design by Marica Desa Kayang Published by KORAN MARICA