HASIL pleno KPU NTT, Sabtu, 1 Juni 2013, telah menyatakan Paket Frenly menang dengan keunggulan 2,5% di atas Paket Esthon-Paul. Dengan demikian, selesailah pertarungan putaran kedua antara dua incumbent.
Terlepas dari apakah masih ada gugatan atau tidak terhadap hasil yang telah diumumkan tersebut, masyarakat NTT bisa lepas lelah setelah antre ke TPS-TPS untuk memilih pemimpin NTT lima tahun ke depan.
Menarik untuk dilihat kembali bagaimana kecenderungan memilih masyarakat NTT dalam putaran kedua ini. Apa yang diduga semula ternyata benar: variabel agama berpengaruh amat kuat dalam menentukan pilihan masyarakat.
Kalau kita petakan perolehan suara di setiap kabupaten/kota, polaritas berdasarkan agama, dalam hal ini, polaritas Katolik-Protestan, sangat kentara. Kita lihat saja. Dua belas kabupaten yang dimenangi Paket Frenly merupakan wilayah-wilayah dominan Katolik. Sementara Paket Esthon-Paul menang di sembilan kabupaten yang nota bene dominan Kristen Protestan. Hal ini memberi gambaran yang jelas bahwa agama tetap merupakan variabel yang amat menentukan proses politik di NTT.
Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa kebanyakan orang NTT adalah pemilih tradisional/primordial berdasarkan agama, sedangkan pemilih transaksional (sebagian orang birokrat/PNS, pengurus partai politik dan para pengusaha) dan pemilih rasional tak banyak berpengaruh pada proses pilgub putaran kedua.
Meski faktor daerah/pulau (Timor-Flores) turut berpengaruh, namun hal itu lebih kecil dibandingkan dengan variabel agama. Lihat saja. Kabupaten Belu dan TTU dimenangi Paket Frenly, meski merupakan bagian dari Pulau Timor. Juga, di Sumba Paket Frenly menang di Sumba Barat Daya, meski ada setereotip bahwa orang Sumba akan cenderung merasa lebih dekat dengan orang Timor.
Faktor kemenangan Frenly di Sumba Barat Daya adalah karena wilayah itu dominan Katolik, sedangkan kemenangan Esthon-Paul di tiga kabupaten lainnya juga karena wilayah- wilayah itu dominan Protestan. Selain faktor agama dan kedaerahan, faktor keberakaran partai turut menentukan. Kalau kita petakan, PDIP merupakan partai yang memiliki basis keanggotaan yang kuat di sejumlah kabupaten seperti Lembata, Flotim, Sikka, Ende, Nagekeo, Belu dan Sumba Barat Daya. Sedangkan Partai Gerindra belum menampakkan basis keberakarannya secara partai, karena memang usianya relatif lebih muda dari PDIP.
Basis PDIP yang kuat di sejumlah daerah memberi harapan adanya basis dukungan tetap untuk partai dan paket yang diusung partai. Inilah salah satu faktor keunggulan dan penentu kemenangan Paket Frenly.
Mengapa dominasi pemilih tradisional/primordial lebih besar dari pemilih rasional dan transaksional? Hal ini terjadi karena lebih dari 85 persen pemilih NTT berpendidikan rendah (tidak tamat SD hingga SLTP) dan kurang mendapat pendidikan politik. Mereka memilih bukan karena kesadaran kritis, tapi karena ikatan emosional, entah dengan partai tertentu atau dengan kandidat tertentu.
Sedangkan pemilih rasional memang punya pengaruh kecil karena jumlahnya kecil. Mereka adalah intelektual kampus ataupun kalangan sipil yang bergerak di luar birokrasi dan partai dan menuntut adanya perubahan di NTT. Dugaan saya, cukup banyak dari mereka tidak memilih pada putaran kedua, karena tidak merasa kepentingan dan idealismenya terwakili di dalam diri kedua pasangan incumbent. Dari sekian puluh ribu yang tidak memilih, sebagiannya adalah pemilih rasional yang dengan sengaja tidak memilih.
Program Anggur Merah rupanya juga diidentikkan dengan Frans Lebu Raya, sehingga banyak orang menyatakan mereka memilih Frans karena sudah merasakan "anggur"nya. Inilah risiko kalau dua incumbent bertarung. Seperti biasanya, yang ada dalam perhitungan orang adalah gubernurnya, bukan wakil. Ini menguntungkan figur Frans Lebu Raya dan tentu saja berpengaruh pada pilihan masyarakat NTT pada pilgub putaran kedua. Padahal dua-duanya punya andil dalam menelurkan program tersebut.
Akhirnya, ternyata daya pengaruh calon wakil gubernur tidaklah signifikan. Hampir semua daerah memperlihatkan betapa kecilnya faktor wakil gubernur dalam mendulang suara. Lihat saja di TTS. Meski Benny Litelnoni berasal dari wilayah tersebut, namun Paket Esthon-Paul hampir mendapat suara tiga kali lipat dari Paket Frenly. Demikian pun Paul Tallo, calon wakil gubernur dari Partai Gerindra, ternyata gagal meraih kemenangan. Masyarakat Ngada yang merupakan salah satu basis PDIP ternyata lebih banyak mendukung Paket Frenly.
Dari hal-hal yang diungkapkan di atas, dapat diprediksi, pemilihan pemimpin (gubernur/wakil gubernur) di NTT hingga 10-15 tahun ke depan akan tetap dipengaruhi secara dominan oleh variabel agama, jika kandidat-kandidatnya berasal dari dua agama berbeda (Katolik dan Protestan) dan jika dominasi pemilih tradisional masih kuat.
Selain itu, dalam pertarungan dua incumbent, amat mungkin orang nomor satu akan selalu menang melawan orang nomor dua, jika tidak ada keadaan yang luar biasa yang merusak citra incumbent nomor satu. Hal ini tentu dapat menjadi tantangan bagi cita-cita kepemimpinan yang lebih bermutu dan lebih progresif di masa mendatang.
NTT sudah memilih dan mendapatkan pemimpin wajah lama. Semoga masalah-masalah lama seperti korupsi, isu nepotisme, persoalan tambang dan buruh migran tidak berlanjut di masa kepemimpinan periode kedua Bapak Frans Lebu Raya. Selamat mengabdi. Semoga NTT semakin baik, semakin sejahtera dan makin bermartabat. (ris)
Terlepas dari apakah masih ada gugatan atau tidak terhadap hasil yang telah diumumkan tersebut, masyarakat NTT bisa lepas lelah setelah antre ke TPS-TPS untuk memilih pemimpin NTT lima tahun ke depan.
Menarik untuk dilihat kembali bagaimana kecenderungan memilih masyarakat NTT dalam putaran kedua ini. Apa yang diduga semula ternyata benar: variabel agama berpengaruh amat kuat dalam menentukan pilihan masyarakat.
Kalau kita petakan perolehan suara di setiap kabupaten/kota, polaritas berdasarkan agama, dalam hal ini, polaritas Katolik-Protestan, sangat kentara. Kita lihat saja. Dua belas kabupaten yang dimenangi Paket Frenly merupakan wilayah-wilayah dominan Katolik. Sementara Paket Esthon-Paul menang di sembilan kabupaten yang nota bene dominan Kristen Protestan. Hal ini memberi gambaran yang jelas bahwa agama tetap merupakan variabel yang amat menentukan proses politik di NTT.
Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa kebanyakan orang NTT adalah pemilih tradisional/primordial berdasarkan agama, sedangkan pemilih transaksional (sebagian orang birokrat/PNS, pengurus partai politik dan para pengusaha) dan pemilih rasional tak banyak berpengaruh pada proses pilgub putaran kedua.
Meski faktor daerah/pulau (Timor-Flores) turut berpengaruh, namun hal itu lebih kecil dibandingkan dengan variabel agama. Lihat saja. Kabupaten Belu dan TTU dimenangi Paket Frenly, meski merupakan bagian dari Pulau Timor. Juga, di Sumba Paket Frenly menang di Sumba Barat Daya, meski ada setereotip bahwa orang Sumba akan cenderung merasa lebih dekat dengan orang Timor.
Faktor kemenangan Frenly di Sumba Barat Daya adalah karena wilayah itu dominan Katolik, sedangkan kemenangan Esthon-Paul di tiga kabupaten lainnya juga karena wilayah- wilayah itu dominan Protestan. Selain faktor agama dan kedaerahan, faktor keberakaran partai turut menentukan. Kalau kita petakan, PDIP merupakan partai yang memiliki basis keanggotaan yang kuat di sejumlah kabupaten seperti Lembata, Flotim, Sikka, Ende, Nagekeo, Belu dan Sumba Barat Daya. Sedangkan Partai Gerindra belum menampakkan basis keberakarannya secara partai, karena memang usianya relatif lebih muda dari PDIP.
Basis PDIP yang kuat di sejumlah daerah memberi harapan adanya basis dukungan tetap untuk partai dan paket yang diusung partai. Inilah salah satu faktor keunggulan dan penentu kemenangan Paket Frenly.
Mengapa dominasi pemilih tradisional/primordial lebih besar dari pemilih rasional dan transaksional? Hal ini terjadi karena lebih dari 85 persen pemilih NTT berpendidikan rendah (tidak tamat SD hingga SLTP) dan kurang mendapat pendidikan politik. Mereka memilih bukan karena kesadaran kritis, tapi karena ikatan emosional, entah dengan partai tertentu atau dengan kandidat tertentu.
Sedangkan pemilih rasional memang punya pengaruh kecil karena jumlahnya kecil. Mereka adalah intelektual kampus ataupun kalangan sipil yang bergerak di luar birokrasi dan partai dan menuntut adanya perubahan di NTT. Dugaan saya, cukup banyak dari mereka tidak memilih pada putaran kedua, karena tidak merasa kepentingan dan idealismenya terwakili di dalam diri kedua pasangan incumbent. Dari sekian puluh ribu yang tidak memilih, sebagiannya adalah pemilih rasional yang dengan sengaja tidak memilih.
Program Anggur Merah rupanya juga diidentikkan dengan Frans Lebu Raya, sehingga banyak orang menyatakan mereka memilih Frans karena sudah merasakan "anggur"nya. Inilah risiko kalau dua incumbent bertarung. Seperti biasanya, yang ada dalam perhitungan orang adalah gubernurnya, bukan wakil. Ini menguntungkan figur Frans Lebu Raya dan tentu saja berpengaruh pada pilihan masyarakat NTT pada pilgub putaran kedua. Padahal dua-duanya punya andil dalam menelurkan program tersebut.
Akhirnya, ternyata daya pengaruh calon wakil gubernur tidaklah signifikan. Hampir semua daerah memperlihatkan betapa kecilnya faktor wakil gubernur dalam mendulang suara. Lihat saja di TTS. Meski Benny Litelnoni berasal dari wilayah tersebut, namun Paket Esthon-Paul hampir mendapat suara tiga kali lipat dari Paket Frenly. Demikian pun Paul Tallo, calon wakil gubernur dari Partai Gerindra, ternyata gagal meraih kemenangan. Masyarakat Ngada yang merupakan salah satu basis PDIP ternyata lebih banyak mendukung Paket Frenly.
Dari hal-hal yang diungkapkan di atas, dapat diprediksi, pemilihan pemimpin (gubernur/wakil gubernur) di NTT hingga 10-15 tahun ke depan akan tetap dipengaruhi secara dominan oleh variabel agama, jika kandidat-kandidatnya berasal dari dua agama berbeda (Katolik dan Protestan) dan jika dominasi pemilih tradisional masih kuat.
Selain itu, dalam pertarungan dua incumbent, amat mungkin orang nomor satu akan selalu menang melawan orang nomor dua, jika tidak ada keadaan yang luar biasa yang merusak citra incumbent nomor satu. Hal ini tentu dapat menjadi tantangan bagi cita-cita kepemimpinan yang lebih bermutu dan lebih progresif di masa mendatang.
NTT sudah memilih dan mendapatkan pemimpin wajah lama. Semoga masalah-masalah lama seperti korupsi, isu nepotisme, persoalan tambang dan buruh migran tidak berlanjut di masa kepemimpinan periode kedua Bapak Frans Lebu Raya. Selamat mengabdi. Semoga NTT semakin baik, semakin sejahtera dan makin bermartabat. (ris)
Editor : alfred_dama
Sumber : Pos Kupang
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !